Sabtu, 30 Oktober 2010

Keajaiban Sabar

Apakah ada keajaiban sabar? Apakah benar dengan bersabar, hidup kita menjadi lebih tenang? Lalu, apa bedanya sabar dengan pasrah? Mengapa kita harus bersabar, sementara kita masih punya kemampuan untuk berbuat sesuatu?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering menganggu pikiran saya. Tidak mudah untuk menjawabnya, karena saya bukanlah seorang ustadz, kyai, atau perenung yang bisa mendapatkan jawaban setelah sekian lama berdiam dan menyendiri. Saya hanyalah orang awam yang sedang mencari jawaban dari beragam pertanyaan di atas.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, penulis berbagai kitab dan murid dari Ibnu Taimiyah, sabar adalah menahan jiwa dari berputus asa, meredam amarh yang bergejolak, mencegah lisan berkeluh-kesah, menahan anggota badan dari berbuat kemungkaran. Sabar merupakan akhlak mulia dari lubuk jiwa yang dapat mencegah dengannya akan tegak dan baik segala perkara.

Ternyata, sabar tidak sama dengan pasrah. Pasrah artinya berputus asa, sedangkan sabar berarti menerima keadaan yang ada tetapi tetap semangat dan tetap berusaha. Sabar identik dengan bagaimana cara memendam amarah yang menggelegak. Sabar juga sama artinya dengan menjaga mulut dari perkataan kotor, pembicaraan yang tidak perlu serta menunjukkan kemarahan. Terus terang, belum satupun bisa saya lakukan.

Tidak hanya itu, sabar juga bisa diartikan sebagai kuat pendirian untuk tidak berbuat maksiat, dan menghindarinya sejauh mungkin. Dalam hal ini, kita dituntut bersabar dalam berpegang pada kebenaran ajaran agama. Bukan menyelewengkannya untuk kepentingan kelompok atau pribadi.

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim)

Menurut para ahli tafsir, yang menarik dari hadist tersebut adalah setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’. Lalu, mengapa dan di mana pesona itu bisa ditemukan?

Pesona muncul dari sikap seseorang dalam menyikapi segala sesuatu. Ia senantiasa berprasangka baik, husnuzhon, dan positive thinking terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah SWT. Ketika mendapatkan kebaikan, ia reflesikan dalam bentuk syukur, dan ketika mendapat musibah, ia bersabar. Segala sesuatu yang ia terima dianggap sebagai karunia, anugerah Allah yang tiada banding. Ia percaya bahwa Allah tidak memberikan sesuatu kepadanya kecuali hal tersebut positif baginya.

Begitu pula saat mendapatkan musibah ia akan bersabar, karena ia yakin, di balik musibah dan cobaan tersebut ada rahasia kebaikan didalamnya. Ia lebih memilih bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah daripada menyalahkan Sang Kholik. Mungkin terkadang ada orang mengeluhkan Allah tidak adil, dan mengapa harus mengalami berbagai cobaan.

Kesabaran juga membuat kita tidak berputus asa sampai menginginkan kematian. Jika memang kondisi membuatnya terpaksa maka hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk meminta hal terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Hal ini terdapat dalam salah satu hadits. Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekirana ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bentuk-bentuk Kesabaran

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:

1.Sabar dalam ketaatan kepada Allah.

Lho, apakah untuk taat menjalankan ibadah, taat menjalankan perintah Allah, orang harus bersabar? Oh, ternyata memang begitu. Misalnya, ketika berpuasa, jika tidak sabar maka rasa laparpun tidak akan terbendung. Ketika shalat malam, jika tidak sabar menahan kantuk dan rasa malas, pasti tidak akan sanggup melakukannya.

Dengan demikian, untuk sekadar bisa melaksanakan ketaatan kepada Allah, kita membutuhkan kesabaran. Bagaimana bisa? Ya, karena secara tabiat dan naluri, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ya kan lebih enak bersantai ria, dibandingkan harus sibuk untuk ibadah.

Apa yang menyebabkan orang, seperti saya, sulit bersabar dalam ketaatan? Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk bersabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah sholat. Lha, wong sedang nikmat-nikmatnya nonton TV, kok ya harus berhenti untuk pergi ke mesjid. Pasti akan sulit. Di sini kita diminta untuk bisa bersabar, bukan?

Kedua, karena bakhil (kikir, pelit). Yang kedua ini lebih banyak terkait dengan hal-hal yang dianggap bisa mengurangi harta dan kekayaan, seperti menunaikan zakat dan infak. Coba, kita lebih rela merogoh kantong untuk menonton bioskop seharga Rp 25,000 per orang, tapi saat diminta menyumbang untuk renovasi mesjid, kita hanya mengeluarkan satu lembar uang ribuan.

Ketiga, karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad. Untuk bisa pergi haji, seseorang harus rela dengan berbagai ujian. Hidup jauh dari keluarga selama satu bulan lebih, tentu tidak mudah. Belum lagi, biayanya juga tidak sedikit. Rp 30 juta bisa untuk uang muka membeli mobil, atau cukup untuk membeli motor, daripada di buang percuma hanya untuk pergi ke mekah? Nah, jika tidak sabar dalam ketaatan, perasaan demikian pasti ada.

2.Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.

Hidup bergelimang uang, terkadang membuat banyak orang lupa. Dengan uang, bisa melakukan kemaksiatan apa saja. Secara hakiki, semua kemaksiatan selalu menyenangkan. Mabuk, membuat orang merasa bisa melepaskan beban hidup. Berzina, untuk melampiaskan nafsu syahwat. Korupsi, bisa membuat kaya raya dan dihormati orang. Bukankah semua itu nikmat, sangat nikmat?

Jika tidak punya kesabaran, tentu sulit meninggalkan segala kenikmatan duniawi seperti itu. Sama halnya dengan meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar. Bahkan lebih besar. Tidak usah berpikir meninggalkan kemaksiatan yang besar, yang kecilpun terasa berat juga. Maksiat kecil itu relatif mudah dilakukan, dan tidak perlu modal banyak. Misalnya, ghibah (ngerumpi, bergosip), dusta, atau menjaga mata dari sesuatu yang haram.

3.Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah.

Ini yang sering terjadi. Misalnya, ketika ada saudara kita yang meninggal, jika tidak sabar maka kita bisa pingsan, bahkan bisa langsung menyalahkan Allah. Sebaliknya, jika kita sabra, justru akan melihat segala musibah itu sebagai rahmat. Ya, minimal kita bisa melihat ada hikmah di balik musibah atau cobaan itu.

Kiat-kiat untuk Meningkatkan Kesabaran

1.Mengikhlaskan hidup dan niat semua ibadah kepada Allah

2.Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadabur-an.

3.Memperbanyak puasa sunah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabarn.

4.Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha kerasa dan giat yang dilakukan seseorang untuk mengalahkan nafsu yang cenderung menyukai hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.

5.Mengingat-ingat kembali tujuan hidup kita di dunia karena hal ini akan memacu diri kita untuk beramal secara sempurna.

6.Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi seperti saat sedang sendiri dalam rumah, hendaklah mengutamakan beribadah daripada menonton televisi atau kegiatan hiburan lainnya. Kemudian, melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fisabilillah.

7.Membaca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in, maupun tokoh-tokoh islam lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar