Sabtu, 30 Oktober 2010

Kiat-Kiat Menghidupkan Bulan Ramadhan

Saudara dan saudariku seiman, sebelumnya saya ucapkan: Salamullah ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Ba-rakaatuh, wa ba’du;

Saya layangkan risalah kecil ini dengan penuh rasa rindu disertai penghormatan yang tulus, tercurah dari lubuk hati paling dalam yang sangat mencintai kamu sekalian karena Allah. Saya memohon kepada Allah semoga kita semua dipertemukan oleh-Nya di dalam Surga yang penuh kemulian dan rahmat. Seiring dengan datangnya bulan Ramadhan, saya persembahkan nasihat ini sebagai hadiah yang tak seberapa nilainya. Saya mohon saudara dan saudariku sekali-an dapat menerimanya dengan dada yang lapang sekaligus saya harapkan nasihat saudaraku sekalian untukku. Semoga Allah memelihara kita semua.

Bagaimana Menyambut Kedatangan Bulan Ramadhan? Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi ma-nusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Al-Baqarah:185)

Saudaraku yang mulia! Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya dengan berbagai keistimewaan dan keutamaan. Di antaranya: * Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kasturi. * Para malaikat memohonkan ampunan bagi orang yang berpuasa hingga berbuka. * Setiap hari bulan Ramadhan Allah menghiasi Surga-Nya seraya berkata: “Hampir tiba saatnya para hamba-hambaku yang shalih melepaskan segala beban dan gangguan serta segera menuju engkau (Surga)!” * Para setan dibelenggu. * Dibuka pintu-pintu Surga dan ditutup pintu-pintu Neraka. * Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. * Akan diberi pengampunan bagi orang yang berpuasa pada malam terakhir bulan Ramadhan. * Allah membebaskan hamba-hamba-Nya dari Neraka pada setiap malam bulan Ramadhan. Wahai saudaraku yang mulia! Demikianlah sekilas mengenai keistimewaan bulan Ramadhan, lalu bagaimana kita menyambutnya? Apakah dengan permainan-permainan yang melalaikan? Dengan begadang setiap malam? Ataukah kita kesal dengan ke-datangannya dan merasa keberatan? Na’udzubillah min dzalik. Seyogyanya seorang hamba yang shalih menyam-butnya dengan taubat nashuha disertai tekad yang bulat untuk meraih sebanyak-banyaknya kebaikan di bulan suci ini. Mengisi waktunya dengan amal-amal shalih. Dan tidak lupa selalu memohon kepada Allah agar menolong kita dalam melaksanakan ibadah dengan baik. Lembaran-lembaran berikut saya peruntukkan khusus bagi saudara-saudaraku yang mulia.

Puasa

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Seluruh amal ibadah bani Adam adalah miliknya, dan setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata: “Kecuali ibadah puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Akulah yang langsung membalasnya. Seorang yang berpuasa telah menahan diri dari syahwat, makanan dan minumannya karena Aku semata. Ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa, kegembiraan saat berbuka dan kegembi-raan tatkala bertemu dengan Allah. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa karena keimanan dan semata-mata mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentu saja, pahala yang besar ini tidak diberikan kepada orang yang hanya menahan diri dari makan dan minum saja, namun diperuntukkan bagi orang yang benar-benar mengaplikasikan nilai-nilai puasa. Sebagai-mana sabda Rasulullah :


“Barangsiapa yang tidak menahan diri dari ucapan dusta dan perbuatan dusta, maka sedikitpun Allah tidak sudi menerima puasanya meskipun ia menahan diri dari makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) dalam riwayat lain Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Ibadah puasa laksana perisai, maka jika salah seorang kamu sedang berpuasa, janganlah ia berbuat tidak senonoh, berbuat jahat dan berbuat jahil. Jika ada yang memaki dirinya, hendaklah ia mengatakan: “Saya sedang berpuasa!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Wahai hamba Allah, jika Anda tengah berpuasa, maka puasakanlah juga pendengaran, penglihatan, lisan dan seluruh anggota badan Anda. Janganlah samakan antara hari berpuasa Anda dengan hari-hari lainnya. Shalat Tarawih (Qiyamul Lail)

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menunaikan qiyamul lail pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam ayat Allah berfirman: “Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Ma-ha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka meng-ucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamat-an. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al-Furqan: 63-64) Mengerjakan shalat malam adalah kebiasaan Rasu-lullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan para sahabat beliau. Sehingga ‘Aisyah Radhiallaahu anha berkata: “Janganlah tinggalkan shalat malam, sebab Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya. Kendati-pun sakit atau sedang lesu, beliau tetap mengerjakannya dengan duduk.” Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu biasa mengerjakan shalat malam. Apabila tiba pertengahan malam, beliau segera membangunkan keluarganya untuk shalat. Beliau berse-ru: “Shalat, shalat!” seraya membacakan ayat ini:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendiri-kan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerja-kannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Tha-ha: 132)

Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma pernah membaca ayat: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih ber-untung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya.” (Az-Zumar: 9) beliau berkata: “Orang yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Utsman bin Affan Radhiallaahu anhu .”

Ibnu Abi Hatim berkata: “Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma mengatakan hal itu karena banyaknya shalat malam dan tilawah yang dilakukan Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiallaahu anhu . Hingga terkadang beliau membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat.”

‘Alqamah bin Qais menceritakan: “Pada suatu ketika aku bermalam bersama Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu . Ia bangun untuk shalat pada awal malam. Beliau membaca surat seperti bacaan imam di masjid, beliau baca dengan tartil tanpa terburu-buru hingga dapat didengar oleh orang yang berada di dekatnya. Beliau terus shalat hingga menjelang terbit fajar, antara selesai shalat malam dengan terbit fajar jaraknya kira-kira antara adzan Maghrib hingga selesai shalat Maghrib. Setelah itu beliau mengerjakan shalat witir.” Dalam riwayat As-Sa’ib bin Zaid disebutkan bahwa ia berkata: “Pada saat itu imam membaca beratus-ratus ayat. Sehingga kami bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri. Ia berkata: “Kami baru selesai saat menjelang fajar.”

Catatan: Wahai saudaraku, sebaiknya engkau menyempurnakan shalat tarawih bersama imam, agar engkau ter-masuk orang-orang yang menghidupkan Ramadhan dengan shalat malam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang shalat tarawih bersama imam hingga selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Shadaqah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah orang yang sangat dermawan, dan kedermawanan beliau semakin bertambah pada bulan Ramadhan. Kebaikan-kebaikan yang beliau laku-kan pada bulan itu melebihi angin yang berhembus.” Dalam sebuah hadits beliau bersabda: “Seutama-utama shadaqah adalah pada bulan Ramadhan.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas Radhiallaahu anhu ) Zaid bin Salim meriwayatkan dari ayahandanya bahwa ia berkata: Saya mendengar Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar bersedekah. Kebetulan aku sedang memiliki harta. Umar pun berkata: “Pada hari ini aku akan melebihi Abu Bakar Radhiallaahu anhu !” Umar melanjutkan: Aku pun membawa setengah dari hartaku. Rasulullah berkata: “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” “Sebanyak ini juga!” jawabku. Kemudian datanglah Abu Bakar Radhiallaahu anhu dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah SAW berkata: “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” ia menjawab: “Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya!” maka aku berkata: “Aku tidak akan mampu melebihimu selamanya.”

Diriwayatkan dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah bahwa ia berkata: “Nenekku bernama Su’da binti ‘Auf Al-Murriyyah -beliau adalah isteri Thalhah bin ‘Ubaidillah- menceritakan kepadaku: “Pada suatu hari Thalhah datang menemuiku dengan wajah yang kusut. Aku bertanya kepadanya: “Mengapa wajahmu kusut seperti itu?” Apa yang telah terjadi atas dirimu? Adakah sesuatu yang dapat kubantu? Ia berkata: “Terima kasih, kamu adalah sebaik-baik istri seorang muslim!” Aku bertanya lagi: “Jika demikian, apa yang terjadi atas dirimu? Ia akhirnya berkata: “Harta yang kumiliki sudah terlalu banyak dan hal itu sangat menyusahkan diriku.” Kukatakan padanya: “Jangan terlalu bersusah, bagikan saja harta itu!” Maka ia pun membagi-bagikan harta itu hingga tidak tersisa sedirham pun.” Thalhah bin Yahya (cucunya) berkata: “Aku tanyakan kepada penjaga gudangnya: “Berapa harta Thalhah ketika itu?” “Empat ratus ribu dirham!” katanya. Wahai saudaraku, Banyak sekali keistimewaan dan kekhususan ber-sedekah pada bulan Ramadhan, maka hendaknya engkau bersegera mengerjakannya. Keluarkanlah dengan segera shadaqahmu sesuai dengan keluasan yang ada padamu. Ada beberapa bentuk shadaqah pada bulan Ramadhan, di antaranya:

A. Memberi Makan

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukai-nya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi ma-kanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) Surga dan (pakaian) sutera.” (Al-Insan: 8-12)

Para Salafus Shalih senantiasa berlomba-lomba da-lam memberi makan dan mereka lebih mengutamakannya dari ibadah-ibadah lainnya. Baik dengan memberi makan orang yang lapar atau memberi makan seorang saudara yang shalih. Tidak disyaratkan yang diberi ma-kan harus seorang fakir. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi makan saudaranya sesama mukmin yang lapar, niscaya Allah akanmemberinya buah-buahan Surga. Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi minum saudaranya sesama mukmin yang dahaga, niscaya Allah akan memberinya minuman Rahiqul Makhtum.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad hasan)

Sebagian salaf berkata: “Mengundang makan sepuluh orang dari sahabat-sahabatku dengan makanan yang mereka gemari lebih aku sukai daripada membebaskan sepuluh orang budak dari keturunan Nabi Ismail 'Alaihis Salam .

Sebagian besar kaum salaf mengutamakan menye-diakan buka bagi orang yang berpuasa padahal mereka sendiri juga berpuasa. Di antaranya adalah Abdullah bin Umar , Dawud Ath-Tha’i, Malik bin Dinar, Ahmad bin Hambal dan lainnya. Bahkan Abdullah bin Umar selalu berbuka bersama anak-anak yatim dan fakir miskin. Kadangkala beliau tidak berbuka karena mengetahui keluarganya menolak kedatangan mereka.

Banyak di antara kaum salaf yang menyediakan makanan bagi teman-temannya padahal ia tengah berpuasa. Bahkan ia melayani teman-temannya dengan baik. Di antaranya adalah Hasan Al-Bashri dan Ibnul Mubarak. Abu Siwar Al-‘Adawi berkata: “Dahulu ada serom-bongan orang dari Bani ‘Adi yang biasa shalat di masjid ini. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang berbuka puasa sendiri. Ia selalu mencari orang yang bersedia berbuka bersamanya. Jika tidak maka ia keluarkan makanannya untuk dimakan bersama orang-orang di masjid.

Ibadah berupa memberi makan akan melahirkan aspek-aspek ibadah lainnya, di antaranya: terciptanya saling mengasihi dan saling menyayangi. Di mana hal itu adalah sebab seseorang masuk ke dalam Surga. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Kamu tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kamu tidak akan beriman hingga saling mengasihi di antara kamu.” Di antaranya juga, bermajlis dengan orang-orang shalih serta mengharap pahala dari menolong mereka dalam ketaatan yang mereka dapat lakukan disebabkan makanan yang engkau berikan.

B. Menyediakan Makanan Berbuka Bagi Orang-orang Yang Berpuasa

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, niscaya ia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengu-rangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR. Ahmad dan An-Nasai serta dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

Dalam hadits Salman Al-Farisi berbunyi:

“Barangsiapa menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, niscaya hal itu akan menjadi penghapus dosa-dosanya dan menjadi pembebas dirinya dari api Neraka. Dan ia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.”

Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, tidak semua orang mampu menyediakan buka orang yang berpuasa?” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menjawab:

“Pahala ini Allah berikan bagi siapa saja yang menyediakan makanan bagi orang yang berbuka puasa meskipun berupa susu bercampur air, kurma atau seteguk air. Barangsiapa memberikan seteguk air bagi orang yang berbuka, niscaya Allah akan memberinya minum seteguk air dari telagaku, ia tidak akan dahaga selamanya hingga masuk ke dalam Surga.”

Membaca Al-Qur’an Dengan Penuh Kesungguhan

Ada dua perkara yang perlu saya sampaikan kepada saudaraku sekalian berkenaan dengan keadaan Salafus Shalih dalam bulan suci ini:

A. Banyak Membaca Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an. Kita semua dianjurkan agar memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan ini. Di antara keadaan Salafus Shalih adalah selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an (mulai dari membaca, mempelajari dan mentadabburinya). Malaikat Jibril memperdengarkan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan. Utsman bin Affan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari pada bulan Ramadhan. Sebagian Salafus Shalih mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat Tarawih setiap tiga malam sekali. Sebagian lagi setiap tujuh malam sekali. Sementara sebagian lainnya mengkhatamkannya setiap sepuluh malam sekali. Mereka selalu membaca Al-Qur’an baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Bahkan Imam Asy-Syafi’i dapat mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak enam puluh kali di luar shalat dalam bulan Ramadhan. Sementara Al-Aswad mengkhatamkannya setiap dua hari sekali. Adapun Qatadah selalu mengkhatamkannya setiap tujuh hari sekali di luar Ramadhan, sedangkan pada bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya setiap tiga hari sekali. Dan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya setiap malam. Pada bulan Ramadhan Imam Az-Zuhri menutup majlis-majlis hadits dan majlis-majlis ilmu yang biasa diisinya. Beliau mengkhususkan diri membaca Al-Qur’an dari mushhaf. Demikian pula Imam Ats-Tsauri, beliau meninggalkan ibadah-ibadah lain dan mengkhususkan diri untuk membaca Al-Qur’an.

Ibnu Rajab berkata: “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari tertuju bagi yang membiasakan hal itu. Adapun pada waktu-waktu yang utama seperti bulan Ramadhan, terkhusus lagi pada malam-malam yang diperkirakan sebagai malam Lailatul Qadar, atau di tempat-tempat yang utama, seperti Makkah bagi selain ahli Makkah, maka dianjurkan agar memperbanyak membaca Al-Qur’an. Supaya mendapat keutamaan pada waktu dan tempat tersebut. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan ulama lainnya. Demikianlah yang dapat kita saksikan dari kebiasaan mereka sebagaimana yang telah kita sebutkan tadi.

B. Menangis Tatkala Membaca Atau Mendengar Al-Qur’an

Mendendangkan Al-Qur’an layaknya mendendangkan syair tanpa mentadabburi dan memahaminya bukanlah termasuk petunjuk Salafus Shalih. Bahkan jiwa mereka bergetar dan hati mereka tersentuh begitu mendengar untaian Kalamullah dibacakan.

Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah Al-Qur’an untukku!” Aku berkata: “Apa-kah aku membacakannya untukmu sedangkan ia diturunkan kepadamu?” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Aku senang mendengarkannya dari orang lain.” Aku pun membacakan untuknya surat An-Nisa’, hingga sampai pada ayat yang berbunyi: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami menda-tangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa’: 41) beliau mengatakan: Hasbuka (cukup). Aku meno-leh kepadanya, ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.” Imam Al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata: “Tatkala turun ayat: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pem-beritaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis.” (An-Najm: 59-60)

Ahlu Suffah (orang yang bermukim di serambi masjid Nabi) menangis hingga tetesan air mata membasahi pipi mereka. Ketika hal itu didengar oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau tersentuh dan ikut menangis bersama mereka. Melihat hal itu kami pun turut menangis. Kemudian Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak akan masuk api Neraka orang yang mena-ngis karena takut kepada Allah.” Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud membaca surat Al-Muthaffifin, tatkala sampai ayat yang berbunyi: “Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (Al-Mutahffifin: 5) beliau menangis hingga bersimpuh dan tidak mampu melanjutkan ayat berikutnya.

Diriwayatkan dari Muzahim bin Zufar ia berkata: “Pada suatu kesempatan, Sufyan Ats-Tsauri mengimami kami shalat. Ketika sampai ayat: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5) beliau menangis hingga terputus bacaannya se-hingga beliau mengulanginya kembali dari awal.”

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Asy’ats ia berkata: “Pada suatu malam saya mendengar Fudhail tengah membaca surat Muhammad hingga beliau menangis dan mengulang-ulang ayat berbunyi: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan meng-uji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Muhammad:31) Beliau berkata: “dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu!” beliau terus mengulang-ulang: “Agar Engkau menyatakan baik buruknya hal ihwal kami!” Jika Engkau nyatakan hal ihwal kami, akan tersingkaplah borok-borok kami. Jika Engkau nyatakan hal ihwal kami, niscaya Engkau akan membinasakan dan mengazab kami,” sedangkan beliau tetap terus menangis.

Tetap Duduk di Dalam Masjid Hingga Terbit Matahari

Apabila Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam selesai menunaikan shalat Subuh, beliau selalu duduk di tempat shalatnya hingga terbit matahari. (HR. Muslim)

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa shalat fajar berjama’ah di masjid, kemudian tetap duduk berdzikir mengingat Allah, hingga terbit matahari lalu shalat dua rakaat (Dhuha), maka seakan-akan ia mendapat pahala haji dan umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna.” (Dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

Hal ini berlaku pada setiap hari, maka bagaimana pula bila dilakukan pada bulan Ramadhan? Wahai saudaraku, semoga Allah menjaga engkau, berusahalah mendapatkan pahala yang agung ini. De-ngan tidur malam yang cukup dan meneladani orang-orang shalih. Senantiasa bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan selalu bertekad untuk mencapai derajat yang tinggi di dalam Surga.

I’tikaf

Rasulullah biasa beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Pada tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Al-Bukhari). I’tikaf adalah sebuah ibadah yang terkumpul pada-nya berbagai jenis ibadah lainnya. Berupa tilawah Al-Qur’an, shalat, dzikir, doa dan lain-lain. Orang yang belum pernah i’tikaf, menggambar-kannya sebagai sebuah ibadah yang berat dan sulit. Padahal i’tikaf sangatlah mudah bagi orang yang Allah beri kemudahan. Yaitu bagi orang yang mempersenjatai dirinya dengan niat ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh. Allah pasti akan menolongnya.

I’tikaf sangat dianjurkan pada sepuluh malam ter-akhir bulan Ramadhan sekaligus untuk meraih malam Lailatul Qadar. I’tikaf adalah mengurung diri dan mengikatnya untuk berbuat taat dan selalu mengingat Allah. Ia memutuskan hubungan dengan segala kesi-bukan-kesibukannya. Ia mengurung hatinya dan jasma-ninya untuk Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada terbetik dalam hatinya sesuatu keinginan pun selain Allah dan yang mendatangkan ridha-Nya. Disebabkan banyaknya umat Islam yang jahil tentang hukum-hukum i’tikaf, maka saya ingin menjelaskan beberapa maklumat sederhana tentang i’tikaf.

Pertama: Definisi I’tikaf

Secara etimologi i’tikaf adalah menetapi sesuatu dan mengikat diri kepadanya. Secara terminologi syariat: “menetapi masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua: Hikmah Disyariatkannya I’tikaf

Ibnul Qayyim ketika menjelaskan beberapa hikmah i’tikaf berkata: “Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah sangat bergantung kepada kuat tidaknya hati itu berkon-sentrasi mengingat Allah. Dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya secara total kepada Allah. Sebab kekusutan hati hanya dapat dirapikan dengan menghadapkan secara total kepada Allah. Perlu diketa-hui bahwasanya makan dan minum yang berlebihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya, dan menghambat perjalanannya menuju Allah atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hambaNya, Allah mensyari’atkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanan-nya menuju Allah. Dan mensyariatkan i’tikaf yang inti dan tujuannya ialah menambat hati untuk senantiasa mengingat Allah, menyendiri mengingat-Nya, menghen-tikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan memfokuskan diri bersama Allah semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat diisi dan dipenuhi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap kepada-Nya.

Ketiga: Hukum I’tikaf

I’tikaf merupakan bentuk pendekatan diri dan ke-taatan kepada Allah. Mengamalkannya adalah sunnat (dianjurkan). Dan sangat dianjurkan diamalkan pada bulan Ramadhan. Dan terlebih lagi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan hukumnya menjadi wajib jika dinadzarkan.

Dalilnya sebagai berikut: * Firman Allah: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud.” (Al-Baqarah: 125) * Hadits Abu Hurairah ra bahwa ia berkata: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri’tikaf selama sepuluh hari pada setiap bulan Ramadhan. Dan pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al-Bukhari) * Hadits ‘Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan. Manakala selesai shalat Subuh, beliau segera memasuki tempat i’tikafnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Hingga beliau juga beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Syawal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) * Masih dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istri-istri be-liau juga melakukannya sepeninggal beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) * Dalil wajibnya i’tikaf jika dinadzarkan adalah sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam :

“Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dan juga dari Abdullah bin Umar ia menceritakan bahwa Umar Radhiallaahu anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Pada masa jahiliyah dahulu aku pernah bernadzar beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu.” Keempat: Syarat-syarat I’tikaf * Islam. * Berakal. * Baligh. * Niat. * Di dalam masjid. * Suci dari janabah, haidh dan nifas. Alim ulama berbeda pendapat apakah seorang yang beri’tikaf harus dalam keadaan berpuasa? Demikian pula mengenai jangka waktu beri’tikaf. Kelihatannya yang paling tepat adalah tidak disyaratkan harus berpuasa dan tidak ada pembatasan waktu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Kelima: Amalan-Amalan Sunnat Bagi Orang Yang Beri’tikaf * Memperbanyak ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur’an, membaca buku-buku ahli ilmu dan lain-lain. * Menjauhkan diri dari ucapan sia-sia, seperti berdebat, mencela, memaki dan lain-lain. * Berdiam di tempat i’tikaf dalam masjid. Berdasarkan riwayat Muslim dari Nafi’ ia berkata: “Abdullah bin Umar menunjukkan kepadaku tempat yang dipakai Rasulullah SAW beri’tikaf di dalam masjid.”

Keenam: Perkara-perkara Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Beri’tikaf

* Keluar dari tempat i’tikaf untuk suatu keperluan yang mendesak. Berdasarkan hadits shahih dari ‘Aisyah x bahwa ia berkata: “Tuntunan bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri penyeleng-garaan jenazah, tidak menyentuh dan mendekati kaum wanita, tidak keluar dari tempat i’tikaf kecuali untuk sebuah keperluan yang mendesak.” (HR. Abu Dawud dan dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Para perawinya tidak bermasalah.”) * Boleh makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan tetap menjaga kebersihan. * Berbicara yang dibolehkan dengan orang lain untuk suatu keperluan. * Merapikan rambut, memotong kuku, membersihkan badan, mengenakan pakaian bagus dan memakai minyak wangi. Berdasarkan hadits ‘Aisyah ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah SAW sedang i’tikaf di dalam masjid, beliau mengeluarkan kepalanya dari sela-sela kamar kemudian aku mencuci kepala beliau.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Kemudian aku merapikan rambut beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) * Melepas kepulangan keluarga yang menjenguknya, berdasarkan hadits Shafiyah yang mengabarkan bahwa Rasulullah n melakukannya.

Ketujuh: Perkara-perkara Yang Dimakruhkan Atas Orang Yang Beri’tikaf

* Berjual-beli. * Berbicara yang mendatangkan dosa. * Diam dan tidak berbicara sama sekali. Jika ia meyakininya sebagai ibadah.

Kedelapan: Perkara-perkara Yang Membatalkan I’tikaf

* Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa keperluan, sekalipun hanya sesekali. * Bersetubuh. * Gila dan mabuk. * Haidh dan nifas bagi kaum wanita, disebabkan hilang-nya syarat bersuci. * Murtad. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.

Kesembilan: Waktu Memasuki Tempat I’tikaf Dan Keluar Darinya

Bilamana seseorang memasuki masjid dan berniat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), maka ia telah terhitung beri’tikaf hingga keluar dari masjid. Apabila ia meniatkan beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, hendaklah ia memasuki tempat i’tikaf sebelum matahari terbenam (menjelang malam kedua puluh satu). Dan meninggalkan tempat i’tikaf pada hari terakhir bulan Ramadhan setelah matahari terbenam.

Kesepuluh: Catatan-Catatan Penting

* Bagi yang membatalkan i’tikaf sunnat yang tengah dilakukannya, hendaklah menggantinya pada hari yang lain, berdasarkan amalan Rasulullah n yang mengganti i’tikaf bulan Ramadhan pada bulan Syawal. Sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits ‘Aisyah x baru lalu. Sementara bagi yang membatalkan nadzar i’tikaf yang tengah dilakukan-nya, maka ia wajib menggantinya. * Kaum wanita boleh beri’tikaf di dalam masjid. Jika terjaga dari fitnah dan diizinkan oleh suaminya. Jika ia beri’tikaf tanpa izin suaminya, maka ia boleh diusir dari masjid tanpa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian dituturkan oleh An-Nawawi. Hukum-hukum yang berkaitan dengan i’tikaf bagi kaum lelaki juga berlaku bagi kaum wanita. Hanya saja i’tikaf kaum wanita otomatis batal jika mereka haidh. Dan mereka boleh melanjutkannya kembali jika sudah suci. Dan hendaknya kaum wanita menirai tempat i’tikaf-nya dengan kemah dan memilih tempat yang tidak dipakai untuk shalat bagi kaum pria. * Barangsiapa bernadzar beri’tikaf di Masjidil Haram, ia tidak boleh menunaikannya di masjid lain. Jika ia bernadzar beri’tikaf di Masjid Nabawi, ia wajib menunaikannya di Masjid Nabawi atau boleh juga di Masjidil Haram. Jika ia bernadzar beri’tikaf di Masjidil Aqsha, ia boleh menunaikannya di salah satu dari tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Sementara bagi yang bernadzar beri’tikaf di selain tiga masjid tersebut dan tidak menentukan masjid tertentu, ia boleh menunaikannya di masjid mana saja. Sebab Allah Ta'ala tidak menjadikan tempat tertentu untuk melakukan ibadah, dan juga semua masjid sama saja keutamaannya kecuali tiga masjid tersebut. Wahai saudaraku, segeralah menghidupkan sun-nah Nabi ini dan memasyarakatkannya di tengah-tengah keluarga, kerabat dekat, saudara-saudara dan teman-temanmu serta di tengah masyarakatmu. Semoga Allah menuliskan pahala bagimu dan pahala dari orang-orang yang mengamalkannya.

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi dan di-nyatakan hasan olehnya dari Katsir bin Abdillah dari kakeknya bahwa Rasulullah saw berkata kepada Bilal bin Harits: “Ketahuilah!” ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang harus kuketahui?” Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah diabaikan, maka ia akan memperoleh pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun.” Di sisi lain beberapa faidah yang dapat dipetik dari sunnah i’tikaf ini adalah pembinaan jiwa dan melatihnya dalam mengerjakan ketaatan. Hal itu sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin dan khususnya para da’i

Umrah di Bulan Ramadhan

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

“Pahala umrah di bulan Ramadhan sama seperti ibadah haji.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain berbunyi:

“sama seperti menunaikan haji bersamaku”

Wahai saudaraku, berbahagialah Anda dengan pahala seperti menunaikan haji bersama Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam

Mencari Malam Lailatul Qadr

Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah ka-mu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (Al-Qadr:1-3)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bangun di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan keikhlasan, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam senantiasa mencari malam Lailatul Qadr dan memerintahkan sahabat untuk mencarinya. Beliau membangunkan keluarganya pada malam sepuluh terakhir dengan harapan mendapat malam Lailatul Qadr. Dalam Musnad Ahmad dari ‘Ubadah, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang bangun sebagai usaha untuk mendapat malam Lailatul Qadr, lalu ia benar-benar mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.” Imam An-Nasai juga meriwayatkan seperti itu. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya sesuai dengan syarat shahih.”

Telah dinukil dari beberapa kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in bahwa mereka mandi dan memakai minyak wangi pada sepuluh malam terakhir untuk mencari malam Lailatul Qadr, malam yang telah dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah.

Wahai orang yang telah menyia-nyiakan umurnya, kejarlah segala yang terluput atas dirimu pada malam Lailatul Qadr ini. Sebab malam inilah sebagai pengganti umur, beramal pada malam ini lebih baik dari pada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikan pada malam itu, niscaya merugi. Malam itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjil, dan lebih diharapkan lagi pada malam kedua puluh tujuh. Berdasarkan riwayat Muslim dari Ubay bin Ka’ab Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata:

“Demi Allah, sungguh aku mengetahui datangnya malam itu. Yaitu pada malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh.” Sampai-sampai Ubay bersumpah untuk hal itu, beliau berkata: “Aku dapat mengenalnya melalui tanda-tanda dan alamat yang diberitakan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam kepada kami. Yaitu matahari terbit tanpa cahaya yang menyi-laukan pada pagi harinya.”

Dalam kitab Shahih diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: “Ya Rasulullah, Apa yang aku baca bila bertepatan dengan malam itu?” Rasulullah bersabda: “Bacalah:

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang yang memohon ampunan maka ampunilah aku.”

Memperbanyak Dzikir, Doa dan Istighfar

Wahai saudaraku, siang dan malam pada bulan Ramadhan adalah hari-hari yang penuh keutamaan, raihlah keutamaan itu dengan memperbanyak dzikir dan doa, terutama pada waktu-waktu mustajab, di antaranya: * Saat berbuka. Ada sebuah doa yang tidak tertolak bagi orang yang berpuasa saat berbuka. * Sepertiga malam terakhir. Yaitu ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala un ke langit dunia seraya berkata: “Siapa saja yang meminta kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni.” * Memperbanyak istighfar pada waktu sahur. Allah Ta’ala berfirman: “Dan pada waktu sahur mereka memohon ampunan.” * Mencari waktu mustajab pada hari Jum’at. Yaitu di saat-saat terakhir pada sore hari Jum’at.

Sebelum Berpisah Wahai Saudaraku

Setelah kita bertamasya di taman-taman Surga, di bawah naungan amal-amal shalih. Ada suatu perkara penting yang ingin saya sampaikan. Tahukah kamu apa itu? Tepat sekali, yaitu ikhlas!. Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga!? Berapa banyak orang yang mengerjakan shalat tarawih, namun tidak mendapatkan apa pun selain ngantuk dan capek!? Semoga Allah menghindarkan kita dari hal itu! Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam at menegaskan masalah ikhlas ini, melalui sabda beliau: “....karena keimanan dan keikhlasan...”

Kaum salaf sangat berusaha untuk menyembunyikan amal ibadah mereka, karena khawatir akan membahayakan diri sendiri. Hammad bin Zaid menceritakan kepada kita tentang seorang tabi’i yang mulia bernama Ayyub As-Sikhtiyani sebagai berikut: “Pada saat menyampaikan hadits kadangkala hati beliau luluh, beliau segera memalingkan wajah dan berdehem seraya berkata: “Betapa berat pilek yang kuderita!” Seolah-olah beliau sedang pilek padahal beliau hendak menyembunyikan tangisnya.”

Muhammad bin Wasi’ berkata: “Aku telah berjumpa dengan kaum salaf, di antara mereka ada yang tidur satu bantal dengan istri. Si istri tidak mengetahui air mata yang mengucur deras dari si suami hingga membasahi bantal. Aku juga bertemu dengan sebagian mereka yang menangis bercucuran air mata ketika berada dalam shaf shalat, namun hal itu tidak diketahui oleh orang yang berada di sampingnya.”

Ayyub As-Sikhtiyani selalu mengerjakan shalat malam dan beliau menyembunyikan amal tersebut hingga pada waktu subuh beliau mengangkat suara seolah-olah beliau baru bangun ketika itu. Ibnu Abi ‘Adi berkata: “Dawud bin Abi Hind senantiasa berpuasa selama empat puluh tahun, namun hal itu tidak diketahui oleh keluarganya. Pasalnya beliau adalah seorang penjahit, beliau selalu membawa bekal makan siang. Dalam perjalanan, beliau menyedekahkan makanan itu. Hingga beliau kembali pada sore hari dan berbuka bersama keluarganya.”

Sufyan Ats-Tsauri berkata: Telah disampaikan kepadaku dari kaum salaf bahwa seorang hamba senantiasa beramal secara tersembunyi (tidak diketahui orang banyak), namun setan senantiasa membujuk rayunya hingga ia mengamalkannya terang-terangan (ia tampakkan pada orang banyak). Demikianlah setan terus menggodanya hingga ia senang amalnya dipuji orang. Akhirnya ia terbiasa beramal karena riya’.”

Tidak Berbuat Hal Yang Sia-Sia Pada Bulan Ramadhan

Wahai saudaraku, barangkali pembicaraan kita sudah terlalu panjang. Saya banyak mengambil waktumu padahal saya menganjurkan akan engkau benar-benar memanfaatkan waktu. Namun apakah engkau sudi bila kita semua berada dalam sebuah realita yang sangat berbahaya khususnya pada bulan Ramadhan?

Yaitu penyia-nyiaan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna dan menghabiskannya di luar ibadah. Sungguh hal itu suatu kelalaian dan sikap berpaling dari rahmat dan keluasan ilahi. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman: "Demikian-lah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari ini pun kamu dilupakan". Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabbnya. Dan sesung-guhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal”. (Thaha: 124-127)

Betapa perihnya jiwamu dan betapa tercabik-cabiknya hatimu melihat banyak pemuda muslim yang terbuai dengan berbagai macam permainan dan nongkrong di pinggir-pinggir jalan pada malam hari bulan Ramadhan yang penuh keutamaan?!

Betapa banyak larangan-larangan Allah dan perbuatan durhaka lainnya yang dilakukan terang-terangan pada malam hari bulan Ramadhan yang pernuh berkah?

Sungguh seorang muslim akan merasa pilu meli-hat masa muda pemuda Islam terbuang percuma untuk perkara-perkara di luar ketaatan.

Namun, janganlah terlalu bersedih! Sesungguhnya jalan menuju kebahagian bagimu dan bagi saudaramu adalah dakwah dan doa!

Benar! Mengajak pemuda-pemuda Islam yang ter-lena serta membimbing mereka kepada jalan yang lurus. Dan mendoakan mereka dalam kesendirian, mudah-mudahan Allah mengabulkan doa kita hingga kita termasuk orang yang beruntung dan tidak merugi selamanya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala pertemukan kita kembali (dalam sebaik-baik keadaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar