Sabtu, 30 Oktober 2010

Kriteria-kriteria Kekayaan yang Wajib Dizakati

ZAKAT DAN PAJAK

Pada realitas era sekarang, umat Islam terbebani kewajiban ganda, sebagai muslim yang harus membayar zakat dan sebagai warga negara yang harus membayar pajak negara. Sehingga sebagian orang pun berpandangan bahwa ketika mereka sudah membayar pajak kepada pemerintah, maka ia sudah terbebas dari kewajiban membayar zakat. Sementara sebagian lain berprinsip sebaliknya, bahwa ketika mereka sudah membayar zakat, mereka tidak perlu dan wajib lagi membayar pajak untuk negara.

Para ulama sepakat bahwa sudah menjadi hak negara untuk mewajibkan warganya membayar pajak dalam rangka pembiayaan sarana umum. Keduanya sama-sama penting dan wajib. Zakat tetap wajib sebagai konsekuensi agama, dan pajak juga wajib selama pemerintah memang mewajibkannya.

Dalam kondisi double kewajiban seperti ini, para ulama ahli fikih --dengan landasan menghindari kebangkrutan bagi si wajib bayar-- merekomendasikan kebijakan bahwa ketika penghitungan neraca wajib zakat, kita diperbolehkan mengurangi neraca tersebut dengan total pengeluaran yang kita alokasikan untuk pajak dan retribusi-retribusi pemerintah lainnya. Kewajiban mengeluarkan zakat tergantung saldo neraca wajib zakat setelah dikurangi alokasi pajak dan retribusi pemerintah. Jika saldo menunjukkan sama atau lebih dari nisab maka harus membayar zakat, dan sebaliknya jika saldo menunjukkan angka kurang dari nisab maka tidak berkewajiban membayar zakat. Seorang pedagang yang berlaba Rp. 25 juta, sementara itu ia harus membayar pajak dan retribusi pada pemerintah sebanyak Rp. 5 juta. Maka, zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5%-nya Rp. 20 juta.

KRITERIA KEKAYAAN YANG WAJIB DIZAKATI

Adapun kriteria harta kekayaan yang wajib dizakati adalah sebagai berikut:
  1. Kepemelikan penuh (perfect title) Maksudnya harta kekayaan tersebut sepenuhnya milik pribadi dan tidak ada hubungannya dengan kepemilikan orang lain. Adapun harta yang tidak sepenuhnya milih sendiri, di antaranya: harta haram, harta wakaf, dan aset piutang yang masih di tangan orang.
    1. Harta Haram (uang panas) Yaitu harta yang diperoleh dengan cara ilegal, seperti hasil curian, penipuan, korupsi, riba, penyelewengan, perjudian dan cara-cara lain yang tidak halal. Harta jenis ini secara esensial tidak dimiliki oleh si pemiliknya, meski harta tersebut dalam genggamannya. Harta/uang haram ini tidak wajib dizakati, namun harus dikembalikan pada pemilik aslinya, atau diserahkan pada pemerintah jika memang pemiliknya tidak ketahuan. Harta seperti ini tidak akan tetap haram baik disimpan sendiri atau disedekahkan, karena Allah tidak menerima sedekah dari harta kotor.
    2. Harta wakaf (untuk kepentingan umum) Para ulama membedakan antara wakaf kepentingan individu dan kepentingan umum. Harta yang diwakafkan pemiliknya untuk kepentingan umum tidak wajib dizakati, sementara harta yang disumbangkan pada satu pihak tertentu atau perseorangan sehingga publik tidak bisa menikmatinya maka harta jenis ini wajib dizakati.
    3. Piutang Ada dua jenis piutang:
      1. Piutang aktif, yaitu piutang yang bisa diharapkan terbayar dan si pemberi hutang bisa mengambilnya sewaktu-waktu. Piutang jenis ini harus dizakati. Dimasukkan ke dalam keseluruhan harta kekayaan.
      2. Piutang pasif, yaitu piutang yang tidak mungkin atau sulit untuk terbayar. Piutang passiva ini tidak wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi kita tetap berkewajiban membayarnya ketika kita memang benar-benar sudah menerima pelunasannya, itupun, menurut pendapat mayoritas, hanya di tahun saat kita menerima pelunasan tersebut. Misalnya piutang itu berada ditangan peminjam selama 5 tahun, dan baru dikembalikan pada tahun ke-6, maka kita hanya kewajiban mengeluarkan zakatnya untuk tahun ke-6 itu saja dan tidak wajib mengeluarkan zakat untuk 5 tahun sebelumnya.
      Imam Malik (pendiri madzhab Malikiyah) mempunyai prinsip lain, baik piutang aktif maupun pasif, keduanya sama-sama dizakati, dengan syarat selunasnya piutang itu. Kewajiban zakat itu pun hanya setahun di tahun saat menerima pelunasannya tersebut. Namun Imam Malik juga mensyaratkan satu hal, sang pemilik piutang bukan kategori orang yang menolak pelunasan agar ia terbebas dari wajib zakat. Jika demikian halnya, maka pemilik piutang yang seperti ini terkena kwajiban membayar zakat tiap tahun selama piutang itu belum lunas.
      Perlu diingat, piutang yang kita bahas di atas adalah benar-benar uang piutang, maksudnya bukan piutang yang dikomersialkan. Jika piutang tersebut berupa barang (yang dikomersialkan), maka pemilik piutang harus membayar zakatnya setiap tahun dengan menggunakan uang yang ada dulu.
  2. Berkembang (Produktif) Artinya bahwa harta tersebut bisa bertambah nilainya, baik pertambahannya secara nyata diupayakan atau sebenarnya harta itu berpotensi berkembang namun didiamkan oleh pemiliknya. Contoh harta yang mampu mendatangkan pemasukan secara nyata bagi pemiliknya adalah seperti ternak, barang dagangan, atau aset-aset tersebut berkembang sendiri seperti hasil bumi dan buah-buahan, dll. Dan contoh jenis harta yang berpotensi berkembang adalah seperi emas, harta simpanan, aksesori-aksesori mewah.
    Syarat "berkembang" ini mempunyai 2 arti penting dalam menentukan kategori aset wajib zakat, yaitu:
    1. Untuk membedakan dari kekayaan yang mempunyai fungsi, walaupun itu sifatnya individual. Seperti perhiasan yang dipakai, mobil pribadi, perabotan rumah tangga, rumah pribadi, dll.
    2. Memasukkan semua jenis aset kekayaan yang mempunyai karakter berkembang ke dalam kategori wajib zakat.
  3. Mencapai nisab Apapun jenis aset yang kita miliki, kita tidak wajib menzakatinya sampai aset tersebut mencapai Nisab. Nisab aset-aset ini berbeda satu sama lain. Dalam proses audit nisab, disyaratkan harus sempurna setelah penotalan anggaran kebutuhan pokok berupa sandang, papan, pangan, peralatan kerja, dll. Maka nisab yang dianggap adalah nisab yang sudah terbebas dari biaya kebutuhan pokok untuk pribadi dan keluarganya. Contoh: Jika si A mempunyai aset Rp. 75 juta, sementara ia harus melunasi hutang sebesar Rp. 7 juta dan untuk biaya kebutuhan pokok sebesar Rp. 15 juta. Maka aset wajib zakatnya adalah Rp. 53 juta. Adapun nisab harta kekayaan adalah senilai 85 gram emas murni (menurut harga pasar). Jika aset pokok yang telah dikurangi anggaran kebutuhan pokok ini mencapai nisab maka harus dizakati. Jika kurang dari nishab, tidak wajib.
  4. Kepemilikan selama setahun (menurut kalender hijriyyah) Syarat wajib zakat yang terakhir adalah kepemilikan harta senilai nisab selama 12 bulan, menurut hitungan hijriyah. Tempo haul (setahun) ini dihitung sejak permulaan sempurnanya nisab dan tetap utuh sampai akhir tahun, meski mungkin pada pertengahan tahun sempat berkurang. Jika pada akhir tahun, jumlah tersebut berkurang dan tidak mencapai nisab lagi, maka si pemilik tidak wajib menzakatinya. Ketentuan kepemilikan nisab secara utuh hingga akhir tahun ini dimaksudkan demi menghindari pengulangan dalam pembayaran zakat, sebagaimana larangan Rasul, "Tidak ada pengulangan dalam sedekah". Ini berarti bahwa tidak boleh misalnya jika kita mengeluarkan zakat untuk satu jenis aset kekayaan wajib zakat, kemudian beberapa bulan selanjutnya mengeluarkan zakat lagi. Ketentuan haul ini hanya berlaku untuk aset-aset yang berkembang seperti komoditi komersial, ternak, simpanan, emas, perak, perhiasan dan lain-lain. Sedangkan aset-aset lain seperti hasil bumi, buah-buahan, barang tambang, dan kekayaan laut diambil zakatnya setelah sempurna perkembangannya dan mencapai nisab.(Jadi tidak menganut ketentuan harus memiliki nisab selama setahun). Begitu juga halnya al-mâl al-mustafâd, yaitu uang/kekayaan baru yang dimiliki seseorang dan belum dizakati sebelumnya. Artinya harta baru ini bukan dari produktifitas aset wajib zakat, namun sang pemilik mendapatkannya dari jalan yang terpisah dari aset wajib zakatnya. Seperti upah kerja (non-gaji), kompensasi, laba dadakan, dan hibah. Harta-harta jenis ini wajib dizakati langsung saat mendapatkannya -kalau memang sudah mencapai nisab- tanpa harus menunggu haul setahun.
KALKULASI ZAKAT MAL

A. Kaidah-Kaidah Kalkulasi Zakat Mâl

Untuk menentukan dan menghitung zakat mâl, terdapat seperangkat kaidah-kaidah akuntansi yang disarikan dari sumber-sumber syariah Islam atau dari Dasar-dasar Pemikiran Akuntansi Umum yang tidak bertentangan dengan kaidah dan hukum-hukum syariah Islam.

Diantara kaidah-kaidah yang prinsipil dan penting dalam penghitungan zakat adalah sebagai berikut :
  1. Prinsip Tahunan (Annual) Zakat dihitung atas dasar hitungan tahun hijriyyah. Dimulai sejak harta kekayaan mencapai nisab. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis zakat, kecuali zakat pertanian, buah-buahan, barang tambang dan barang temuan.
  2. Prinsip Independensi Tahun Setiap tahun dihitung sebagai tahun wajib zakat yang terpisah dari tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya. Sehingga tidak boleh ada penunaian kewajiban zakat mâl dua kali dalam tahun yang sama.
  3. Prinsip Berkembang (Productive) Aset kekayaan yang wajib dizakati adalah jenis kekayaan yang bergerak atau berkembang, baik secara riil maupun dari hasil prediksi atau perkiraan. Artinya bahwa harta tersebut bisa bertambah nilainya karena berpotensi berkembang namun didiamkan oleh pemiliknya. Atas dasar ini, aset kekayaan yang permanen dan barang-barang yang digunakan untuk kepentingan pribadi tidak wajib dizakati sebab harta-harta tersebut tidak memenuhi prinsip perkembangan.
  4. Prinsip Kemampuan Taklif Surplus atau harta kekayaan yang berlebih dari kebutuhan primer wajib dizakati juga. Karenanya, tidak ada shadaqah dalam harta kekayaan yang sedikit, akan tetapi harus mencapai nisab (kuota zakat). Nisab inilah yang berfungsi menjadi jaminan bahwa si wajib zakat mampu membayar zakat.
  5. Prinsip Penghitungan Zakat secara global atau total bersih. Sebagian jenis kekayaan dikeluarkan zakatnya berdasar kalkulasi global, dan sebagian lain diambil prosentase total bersihnya. Yang pertama seperti zakat hewan barang tambang, dan kedua seperti zakat mâl. Jenis yang terakhir ini tidak wajib dizakati kecuali kalau memang menunjukkan kelebihan (surplus) dari biaya kebutuhan, operasional, dan hutang selama satu tahun.
  6. Prinsip penggabungan harta kekayaan yang sejenis. Diperbolehkan menggabungkan 2 (atau lebih) macam kekayaan dari jenis yang sama. Seperti zakat profesi dengan barang dagangan, atau rental. Dan tidak boleh melakukan penggabungan harta kekayaan yang berlainan jenis, misalnya hewan ternak digabung dengan barang dagangan atau hasil pertanian dan buah-buahan.
  7. Prinsip penghitungan berdasar current-value (nilai-sekarang) atau market-value (nilai-pasar). Barang dagangan dan aset keuangan yang wajib dizakati diaudit menurut valuta yang sedang berlaku (current value) saat tibanya kewajiban membayar zakat, bukannya atas dasar book value (nilai pembukuan berkala) yang telah lewat, sehingga pengauditan itu menghasilkan jumlah yang lebih minim.
B. Formulasi Kalkulasi Zakat Mâl
  1. Menentukan dan menghitung harta kekayaan yang beragam pada akhir tahun, serta memerinci kekayaan yang masuk daftar wajib zakat --atau sering disebut sebagai aset. Dan aset wajib zakat ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
    1. Kepemilikan penuh
    2. Berkembang, baik perkembangan tersebut riil atau menurut hitungan prediktif
    3. Berjalan setahun, kecuali zakat pertanian, buah-buahan, barang tambang dan barang temuan
    4. Tidak dikeluarkan zakatnya pada tahun yang sama
    5. Merupakan surplus dari kebutuhan yang wajar
    6. Terbebas dari hutang
    7. Mencapai nisab (ketentuan batas minimal).
  2. Total pengeluaran, meliputi:
    1. Biaya kebutuhan pokok sehari-hari (sandang, papan, pangan)
    2. Biaya yang berhubungan dengan operasional kerja
    3. Pembayaran pajak
    4. Pelunasan hutang
  3. Wi'â' zakat (= aset kekayaan dikurangi pengeluaran). Hasil pengurangan ini jika mencapai nisab maka berhak dizakati.
  4. Besar nisab = 85 gram emas murni. Nilai per gram emas ini dihitung menurut harga yang sedang berlaku di daerah mana harta tersebut berada.
  5. Membuat neraca perbandingan antara jumlah zakat yang telah ditentukan pada nomor 3 dengan nisab yang telah ditentukan pada nomor 4. Jika wi'â' melebihi atau setidaknya menyamai nisab maka zakat wajib dikeluarkan.
  6. Menentukan kadar zakat (si'ru al-zakât) yang diambil --prosentasenya-- dari wi'â' zakat. Yaitu sebesar:
    1. 2,5 % untuk kategori zakat uang, barang dagangan, rental, profesi, harta yang difungsikan dan barang tambang;
    2. 5 % untuk kategori zakat pertanian dan buah-buahan yang pengairannya membutuhkan biaya.
    3. 10% untuk kategori zakat pertanian dan buah-buahan yang mengandalkan pengairannya dari air hujan atau mata air (tanpa biaya).
    4. 20 % untuk kategori zakat barang temuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar