Sabtu, 30 Oktober 2010

Makna Imsak

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah:183)

Secara ringkas, ayat di atas dapat ditafsirkan bahwa Allah telah mewajibkan puasa kepada orang-orang yang beriman sebagai upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan perwujudan kehendak-Nya untuk melebihkan derajat manusia dari binatang yang tunduk hanya pada instink dan hawa nafsu. Berpuasa merupakan syariat yang juga telah diwajibkan atas umat terdahulu, maka kita —sebagai orang-orang yang dituju oleh ayat ini— tidak seharusnya merasa berat untuk melakukannya. Karena dengan puasa itu Allah bermaksud menanamkan ketakwaan diri dan mendidik jiwa kita.
Berangkat dari penafsiran di atas bahwa puasa dimaksudkan untuk membersihkan jiwa, mengekang hawa nafsu, menanamkan ketakwaan diri serta mendidik jiwa, kita akan berusaha mengurai kata al-Shiyâm dari sudut linguistiknya.
Apabila kita mencoba untuk melihat akar kata al-Shiyâm dalam ayat ini dengan kacamata etimologi, kita akan mendapatkan bahwa kata ini berasal dari tiga komponen huruf, yaitu Shâd, Waw dan Mîm. Dengan berpedoman pada tiga huruf inti ini, maka kata ini secara umum akan berarti 'menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan', atau dapat diungkapkan pula —dalam bahasa Arab— dengan kata 'al-Imsâk'. Dengan demikian, dari sini kita dapat mengetahui bahwa kata al-Shawm dapat diartikan juga dengan al-Imsâk, karena batasan awal larangan untuk makan, minum dan melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa adalah pada suatu saat yang banyak kita kenal dengan al-Imsâk itu.
Datangnya agama Islam di Jazirah Arab tidak hanya memberikan dampak positif pada moral dan etika bangsa Arab yang masih terpuruk dalam kesesatan, tetapi dampak itu juga terasa sangat tajam pada perubahan makna dalam perbendaharaan kata Arab. Sebagai contoh, kata al-Zakâh. Sebelum datangnya Islam, kata ini diartikan dengan 'suci'. Kemudian pada saat zakat disyariatkan dalam Islam, kata ini mulai berganti makna sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini. Begitu juga dengan kata 'al-Kâfir', 'al-shalât', dan lain-lain. Kata al-Imsâk memang masih terpakai dalam makna aslinya, meskipun Islam telah memberikan pengertian baru baginya. Misalnya pada pemakaiannya dalam bentuk verbal, kita mendapatkan kalimat "amsik lisânak" berarti 'tahan (jaga) ucapanmu!'. Tetapi arti yang seperti itu tidak lagi terlintas dalam pikiran apabila konteks pengucapannya dihubungkan dengan bulan suci Ramadan atau dengan hari-hari puasa secara umum.
Setelah kita mengetahui bahwa kata al-Shiyâm dalam ayat di atas secara etimologis berarti al-Imsâk (menahan), maka kita akan mencoba merenungkan kembali makna yang tersirat dari ayat tersebut. Di atas telah diungkapkan bahwa puasa adalah suatu upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan perwujudan kehendak-Nya untuk melebihkan derajat manusia dari binatang yang tunduk hanya pada instink dan hawa nafsu. Islam tidak mengenal dunia kependetaan yang bersikap tak acuh terhadap keduniaan. Tetapi Islam, sebagai agama, tentunya sudah pasti memiliki sisi-sisi kezuhudan yang mengendalikan manusia untuk tidak cinta dunia dan melakukan kemungkaran. Maka dari itu dalam surat al-Qashash:77 Allah memerintahkan kita untuk memberikan porsi yang semestinya bagi kehidupan dunia dan akhirat kita. Pemberian porsi 'yang semestinya' inilah yang selalu menjadi titik lemah manusia yang telah dianugerahi dengan akal dan hawa nafsu.
Untuk melakukan hal itu, manusia memerlukan suatu pengorbanan yang luar biasa. Karena, hal itu berarti dia harus berusaha untuk selalu mengekang hawa nafsunya. Salah satu wujud dari pengekangan hawa nafsu yang paling nyata adalah puasa (menahan) untuk tidak melakukan segala yang diharamkan, dan bahkan beberapa hal yang dihalalkan. Tetapi memang itulah esensi puasa, yang dimaksudkan untuk mendidik jiwa agar bersabar dan bertakwa. Dan yang lebih penting dari itu semua, kita sebagai orang muslim harus merasa bahwa puasa adalah salah satu jalan Allah untuk mendidik jiwa kita agar kita bersabar, dan kita sebagai manusia harus berusaha untuk merasakan kenikmatan dalam melakukan kesabaran. Karena pada dasarnya kemurkaan Allah tidak hanya berbentuk musibah dan petaka yang bisa diindera oleh manusia. Ketiadaan rasa nikmat pada saat kita bersabar itu pun merupakan suatu petaka bagi kita.
Dengan bentuk lain, ungkapan di atas telah disampaikan pula oleh salah seorang nabi dari Banû Isrâ’îl. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika ada seorang Yahudi berkata kepada Nabi itu, "Aku tidak pernah berdzikir, tetapi mengapa Allah tidak menghukumku?" Sang Nabi menjawab, "Kamu telah dihukum oleh Allah, tetapi kamu tidak merasakan hukuman itu. Ketika Allah tidak memberimu kenikmatan dalam berdzikir kepada-Nya, maka pada saat itulah sebenarnya kamu sedang berada dalam hukuman-Nya." Allâhumma a‘innâ ‘alâ dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibâdatika. Wallâhu a‘lam bi al-shawâb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar