Minggu, 31 Oktober 2010

Mempercantik Diri yang Diharamkan (2)

Penjelasan Ulama Tentang Hukumnya

Hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu tidak hanya menggunakan kata-kata larangan tetapi laknat. Tentunya itu lebih keras dibanding sekedar larangan. Hal itu menunjukkan keharaman melakukan hal-hal tadi, sebab tidak ada laknat kecuali untuk hal-hal yang diharamkan.

1. Menyambung Rambut (Al-Washilat wal Mustawshilat)

Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak. Hal ini ditegaskan oleh Al-Allamah Asy-Syaukani rahimahullah berikut ini:

وَالْوَصْلُ حَرَامٌ لأَنَّ اللَّعْنَ لا يَكُوْنُ عَلَى أَمْرٍ غَيْرَ مُحَرَّمٍ

“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 6/191)

Bahkan Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328).

Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi rahimahullah:

وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم الْوَصْل ، وَلَعْن الْوَاصِلَة وَالْمُسْتَوْصِلَة مُطْلَقًا ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِر الْمُخْتَار

“Hadits-Hadits yang ini jelas mengharamkan menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang yang disambung rambutnya adalah mutlak, dan inilah secara dzahir menjadi pendapat pilihan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236).

Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya, Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya, atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur, baik rambut, kuku atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An-Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.



Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Imam Malik, Imam Ath-Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al-Ahwadzi, 8/66).

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al-umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al-Washl – menyambung rambut.

Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.

Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. (Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328).

Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut sebagaimana wig dan konde, dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non-mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non-mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan.


2. Minta dibuatkan Tato dan Si Pembuat Tato (Al Wasyimat wal Mustawsyimat)

Sebagaimana hukum menyambung rambut, maka hukum bertato atau bagi pembuatnya adalah sama haram dan termasuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Lantaran keduanya di-athafkan (dikaitkan) dalam satu hadits sebagaimana riwayat Ibnu Umar radliyallah 'anhuma.

Dari Ibnu Umar radliyallah 'anhu, katanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Imam Ibnu Baththal memberikan syarah terhadap hadits ini:

لِأَنَّهُمَا تَعَاوَنَا عَلَى تَغْيِيْرِ خَلْقِ اللهِ ، وَفِيْهِ دَلِيْلٌ أَنَّ مَنْ أَعَانَ عَلَى مَعْصِيَّةٍ، فَهُوَ شَرِيْكٌ فِى الْإِثْمِ

“Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan Allah, dan hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan maksiat, maka dia ikut serta dalam dosanya.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 9/174).

Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al-Khathib Asy-Syarbini mengatakan:

وَتَجِبُ إِزَالَتُهُ مَالَمْ يَخَفْ ضَرَراً يَبِيْحُ الْتَيَمُّمَ، فَإِنْ خَافَ ذَلِكَ لَمْ تَجِبْ إِزَالَتُهُ وَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ بَعْدَ التَّوْبَةِ

“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan adanya bahaya dan dibolehkan tayammum, jika dia takutkan hal itu, maka tidak wajib menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah bertaubat.” (Imam Muhammad Al-Khathib Asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari, 10/372)

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengatakan dalam fatwanya:

فَإِنَّهُ يُلْزِمُهُ إِزَالَتُهُ بَعْدَ عِلْمِهِ بِالتَّحْرِيْمِ، لَكِنْ إِذَا كَانَ فِي إِزَالَتِهِ مَشَقَّةٌ أَوْ مَضَرَّةٌ فَإِنَّهُ يَكْفِيْهِ التَّوْبَةَ وَالْاِسْتِغْفَارَ، وَلاَ يَضُرُّهُ بَقَاؤُهُ فِي جِسْمِهِ

“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami kesulitan atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan istighfar, dan tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218).

Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu atau mandi janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, melainkan meresap ke dalamnya. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran bagi orang yang memiliki tato lalu setelah dia tahu keharamannya dia bertobat ingin menjalankan shalat. Wallahu A’lam.


3. Mencukur Alis Mata (An Namishat wal Mutanamishat)

Sebagaimana yang lain, maka An-Namishah (pencukur alis) dan Al-Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga melakukan keharaman dan mendapatkan laknat Allah Ta’ala. Imam Ath-Thabari berkata:

لا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ تَغْيِيْرُ شَيْءٍ مِنْ خَلْقَتِهَا الَّتِي خَلَقَهَا اللهُ عَلَيْهَا بِزِيَادَةِ أَوْ نَقْصِ الْتِمَاسِ الْحَسَنِ لاَ لِلزَّوْجِ وَلاَ لِغَيْرِهِ

“Tidak boleh bagi wanita merubah sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan tidak juga untuk selain suami.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377, Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67)

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah tidak memberikan pengecualian, bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala.

Namun, pandangan ini ditanggapi oleh Imam An-Nawawi sebagai berikut:

وَهَذَا الْفِعْل حَرَام إِلَّا إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَة أَوْ شَوَارِب ، فَلَا تَحْرُم إِزَالَتهَا ، بَلْ يُسْتَحَبّ عِنْدنَا . وَقَالَ اِبْن جَرِير : لَا يَجُوز حَلْق لِحْيَتهَا وَلَا عَنْفَقَتهَا وَلَا شَارِبهَا ، وَلَا تَغْيِير شَيْء مِنْ خِلْقَتهَا بِزِيَادَةِ وَلَا نَقْص . وَمَذْهَبنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ اِسْتِحْبَاب إِزَالَة اللِّحْيَة وَالشَّارِب وَالْعَنْفَقَة ، وَأَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ فِي الْحَوَاجِب وَمَا فِي أَطْرَاف الْوَجْه

“Perbuatan ini (mencukur alis dan tukang cukurnya) adalah haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram menghilang-kannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir. Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421).

Pendapat yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang tidak lazim dan tidak normal. Sebab, wanita diciptakan Allah Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala, melainkan menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka, pendapat yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat yang lebih kuat.

Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang benar adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram. Sebagaimana seorang penjudi berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah judinya menjadi halal.



4. Mengkikir Gigi (Al-Mutafalijah)

Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan. Sebagaimana penjelasan para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika mengganggu aktiitas mengunyah.

Berkata Imam Ath Thabari rahimahullah:

وَيُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الضَّرَرُ وَالْأَذِيَّةُ كَمَنْ يَكُوْنُ لَهَا سِنٌّ زَائِدَةٌ أَوْ طَوِيْلَةٌ تُعِيْقُهَا فِي الْأَكْلِ

“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377).

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar